BAB I
PENDAHULUAN
Dengan banyaknya agama yang muncul di
muka Bumi ini, maka setiap agama ada sekelompok umat yang menyakini dan
menerimanya. berbagai buku telah dikarang dan diterbitkan untuk menjelaskan
berbagai agama. Dalam sejarah agama Hindu Brahma, sejak zaman
purba telah banyak muncul orang-orang yang membawa aliran perubahan. Mereka
mengemukakan perubahan sebagai tantangan terhadap ajaran Hindu Brahma.
Perubahan itu ada yang bertalian dengan ketuhanan, berkenaan dengan cara
mencapai akhirat( nirwana) atau disebut pula dengan moksa. Tantangan yang
paling sengit ditujukan terhadap sistem kemasyarakatannya. Sebagaimana
diketahui, agama hindu brahma menganut sistem kasta, dimana sebagaian manusia
dipandang sangat mulia (brahma, ksatria, dan waisya), sedangkan sebagian lagi
dipandang sangat hina (sudra, paria, harijan).
Dari gerakan itu, muncul agama Budha
yang dibawa oleh Sidharta Gautama, agama Jaina yang dibawa oleh verdamana yang
terkenal dengan sebutan mahawira, yang hampir sezaman dengan Budha Gautama.
Keduanya membawa ajaran yang hampir bersamaan berupa revolusi terhadap agama
brahma dan keduanya pun sama-sama anak raja.
Budha dan Jaina tidak setuju kepada paham brahma yang mengakui banyak
tuhan serta menyembah kepada berhala (walaupun penganut Budha masa kini
menyembah patung), tidak setuju kepada pembelaan derajat manusia yang membagi
manusia kepada berbagai kasta. Syarat utama untuk mencapai nirwana atau moksa
ialah agar setiap orang harus menjadikan dirinya sebagai manusia yang baik,
berpikiran baik, berbuat baik, berkeinginan baik, berbuat baik dengan menekan
nafsu, menjauhkan semua perbuatan yang tidak baik. Untuk mencapai nirwana,
tidak mesti harus terlahir dari kasta brahmana, tapi siapapun dapat mencapainya
asal ia berlaku sebagaimana yang telah disebutkan tadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
JAINISME
a.
Sejarah Dan Perkembangan Agama Jain
Menurut agama Jain, kepercayaan agama jainisme bersifat abadi.
Untuk menjelaskan pendapat tersebut, Jainisme membandingkan dengan konsepsi
waktu. Waktu, menurut agama tersebut, tidak ada batasnya. Waktu diukur
berdasarkan lingkaran evolusi dan lingkaran kemusnahan. Lingkaran-lingkaran ini
mereka sebut dengan utasarpani dan avasarpani. Setiap lingkaran
dibagi menjadi enam zaman. Pada tahap keempat dari lingkaran waktu yang kedau
terdapat duapuluh empat Tirtangkara, atau jiwa sempurna, yang semuanya
diduga telah mencapai kelepasan total dari semua kungkungan dan belenggu jiwa.
Keduapuluh empat Tirtangkara itu pula yang dipercaya telah menyebarkan agama
Jain ke dunia. Secara berurutan dapat kami sebutkan, diantaranya adalah (1): Rshba
atau Vrshaba, sapi jantan, emas; (2) Ajita, gajah, emas; (3) Sambhava,
kuda, emas; (4) Abhinandana, kera, emas; (5) Sumati, burung,
banagau, emas; (6) padmaprabha, bunga teratai, merah; (7) Suparsva,
berupa swastika, emas; (8) Chandravhaba, bulan, putih; (9) Suvihdi,
atau Puspadata, iakan lumba-lumba, putih; (10) Sitala, berupa sripasta, emas; (11) Sreyamsa, atau Sreyan, badak, emas; (12) Vasupujya, kerbau, merah; (13) Vimala, babi, emas; (14) Ananta atau Anatajid, burung lang, emas; (15) Dharma, halilintar, emas; (16) Shanti, kijang, emas; (17) Kunthu, kambing, emas; (18) Ara, berupa Nandyvarta, emas; (19) Malli, kendi, biru; (20) Suvrata, atau Munisuvrata, kura-kura,
itam; (21) Nami, keratai biru, emas; (22) Nemi atau Aristanemi, kulit kerang-kerangan, hitam (23) Parsva, ular, biru; (24) Vardhamana, harimau, emas. Dari semua Tirthankara
tersebut adalah golongan kesatria.
Malli adalah seorang perempuan; dan ini bisa diterima oleh sekte Svetambara. Namun sekte Digambara menolaknya, karena sekte ini berpendapat
bahwa kaum wanita tidak akan dapat mencapai pencerahan atau kelepasan.[1]
b.
Ajaran Pokok Agama Jain
Ajaran agama
jaina ini adalah menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya
terhadap konsep ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang
banyak mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan
sebagainya. Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak
zaman pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu
generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran
jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau
penyebar keyakinan.
Agama Jaina
tidak mempercayai tentang tuhan, dikarenakan agama jaina ini sendiri adalah
suatu gerakan yang menentang agama hindu. Mahavira menegaskan bahwa didalam
alam ini tidak ada ruh mahabesar dan ruh agung. Disinilah agama jaina ini
dinamakan agama ilhad( tidak mempercayai adanya tuhan). Agama jaina mempercayai
bahwa setiap yang wujud, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan
batu-batuan adalah tersusun dari badan dan ruh. Setiap ruh itu kekal dan
bersendiri mengalami hokum pengembalian kembali.
Karena agama
jaina tidak mempunyai tuhan maka, setelah mahavira meninggal dunia pada tahun
527 SM, maka para pengikut agama jaina mulai kehilangan arah. Sempat pada
awal-awalnya mereka kembali kepada tuhan-tuhan orang hindu, namun karena
seiring dengan berjalannya waktu mereka menetapkan mahaviralah tuhan mereka
bahkan patungnya mereka sembah.
Didalam
perkembangannya, jainisme pecah menjadi dua sekte:
1.
swetambara atau (yang berpakaian putih) pendeta
tertinggi harus mengenakan jubah putih
2.
dirgambara atau (yang berpakaian langit). lebih
keras dan sangat fanatik, Aturan agar berpakaian putih atau telanjang bulat
hanya berlaku bagi pendeta tertinggi dan bukan untuk orang kebanyakan; tidak
juga bagi pendeta yang rendah. mereka harus mempertahankan hidup pertapa yang
sempurna, tidur hanya tiga jam sehari, makan dari meminta-minta, susah waktunya
untuk belajar dan mengajar, dari wanita tidak dapat mencapai pembebasan[2]
c.
Kitab Suci
Sumber-sumber suci
dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira. Kemudian
pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para
murid-muridnya, orang-orang arif, pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber
kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu
dikarenakan takut ajaran-ajaran ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran
yang lain, maka mereka memelihara tradisi tersebut dan menuliskannya.
Para penganut
jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan
naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini
diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang
digunakan dalam kitab ini adalah bahasa Ardhamajdi atau prakit. Namun
bahasa tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi
untuk menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta[3].
Sedangkan kitab
siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah himpunan
yang terdiri dari pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas telah
lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah anggas
seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan pendirian
diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara mengakui
ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte swetambara
mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama jaina hanya 33
anggas saja. [4]
d.
Aliran Dalam Agama Jainisme
1.
Digambara
Digambara
(berpakaian-langit)
mengabaikan semua pakaian, aliran ini adalah sekte awal
dari kaum jain, sedangkan Sekte Shvetambara (berpakaian putih)
memperbolehkan mengenakan pakaian putih yaitu kolompok yang menolah doktrin dari
sekte digambara dan membuat golongan tersendiri.
2.
Sthanakavasi kemudian
muncul sebagai kelompok reformasi yang menentang penyembahan berhala di dalam
Jainisme. Setiap kelompok aliran tersebut memiliki kitab-kitab suci kanonikal
yang berbeda. Nama umum untuk kumpulan kitab-suci Jainisme adalah Agama (aturan/ajaran/perintah).
Jumlah buku-buku itu bervariasi dari 33 sampai 84 buku tergantung kepada
masing-masing sekte.[5]
B. SIKHISME
a.
Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan
Agama Sikh
Agama Sikh merupakan agama Non-Semit,
Non-Vedic. Agama Sikh meru-pakan agama terbesar ke-6 di dunia. Ada yang
mengatakan agama Sikh sebagai ca-bang dari Agama Hindu. Didirikan oleh Guru
Nanak pada akhir abad 15 M. Berasal dari daerah antara Pakistan dan Barat Daya
India yaitu Punjab. Punjab berarti tanah dari 5 sungai. Guru Nanak lahir
sebagai Ksatriya (Kasta Ksatria) dalam keluarga Hindu tetapi sangat dipengaruhi
oleh Islam dan Muslim.[6]
Agama Sikh bermula di Sultanpur,
berhampiran Amritsar di wilayah Punjab, India. Pengasas agama ini ialah Guru
Nanak (1469-1539), Agama Sikh percaya kepada adanya satu Tuhan dan dipanggil
waheguru. Selepas beliau meninggal dunia, penggantinya juga diberi pangkat
guru. Sebanyak sepuluh guru telah mengambil alih tempat beliau dan secara
perlahan-lahan. Rangkaian ini berakhir pada tahun 1708 selepas kematian Gobind
Singh yang tidak meninggalkan pengganti manusia tetapi meninggalkan satu
himpunan skrip suci yang dipanggil Adi Granth. Skrip ini kemudian diberi nama
Guru Granth Sahib. Gobind Singh juga telah menumbuhkan sebuah persatuan
"Persaudaraan Khalsa Sikh" dan memulakan pemakaian seragam untuk
lelaki Sikh yang taat kepada agamanya yang diberi gelaran "Lima
K".Sikhisme adalah sebuah agama monoteistik yang diasaskan mengikut ajaran
Guru Nanak dan sembilan orang guru lain di Punjab, India pada abad ke-15. Agama
Sikhisme adalah agama keenam terbesar di dunia, dengan lebih daripada 23 juta
penganut.[7]
b. Konsep Ketuhanan Dalam
Agama Sikh
Agama Sikh termasuk ke dalam kelompok
agama non-Semitik, Arya, dan non-Vedic. Meskipun hanya sedikit pengikutnya
dibandingkan dengan agama-agama besar lainnya, agama Sikh menjadi bagian atau
cabang dari agama Hindu. Agama Sikh didirikan oleh Guru Nanak Shahib pada akhir
abad kelima belas. Aga-ma Sikh berasal dari wilayah Pakistan dan India Barat
Laut, tepatnya dari wilayah Punjab, yang dikenal sebagai daerah dengan lima
sungai. Agama Sikh yang didirkan oleh Guru Nanak Shahib ini juga dikenal dengan
sebutan ‘agama dengan sepuluh guru’. Guru yang pertama yang mendirikan agama Sikh
ini adalah Guru Nanak Sha-hib dan guru yang terakhir atau yang kesepuluh adalah
Guru Govinda Shahib. Guru Nanak Shahib berasal dari keluarga kasta Satria namun
beliau banyak terpengaruh oleh pergaulan dengan orang-orang Muslim. Kata ‘Sikh’
diambil dari kata ‘Sisya’ yang berarti ‘murid’ atau ‘pengikut’.
Berkaitan dengan konsep ketuhanan,
definisi terbaik yang dapat diberikan oleh orang-orang Sikh adalah konsep ‘Mul
Mantra’. Konsep ini menjadi landasan fundamental agama Sikh yang termuat di
dalam bagian permulaan kitab suci agama Sikh yaitu Sri Guru Granth Shahib.
Dalam kitab Sri Guru Granth Shahib volume 1, pasal 1 ayat 1 disebutkan istilah
‘Japoji Mul Mantra’. Ayat tersebut berbunyi “Hanya ada Allah Tuhan Yang Esa”.
Tuhan itu disebut Dadru, ‘Sang Pencipta’, atau ‘Dia yang terbebas dari rasa
takut dan rasa kebencian’, ‘Dia Yang Kekal’, ‘Dia yang tidak dilahirkan’. Agama
Sikh ini secara tegas menyatakan diri sebagai agama mo-notheisme. Dan Tuhan
Yang Maha Kuasa yang tidak tampak wujudnya itu disebut ‘Ek Omkara’, sedangkan
Tuhan yang tampak wujudnya disebut ‘Omkara’.
Guru Granth Shahib memberikan nama-nama
yang beragam kepada bentuk penampakan Tuhan ini (Omkara), atau yang disebut
dengan ‘Kartar’ (Sang Pencipta), ‘Akal’ (Yang Abadi), ‘Satyanama’ (Yang Maha Suci),
‘Shahib’ (Tuhan), ‘Parvadigar’ (Sang Pemelihara), ‘Rahim’ (Sang Pengasih),
‘Karim’ (Yang Mulia). Tuhan juga mempunyai gelar lain yang disebut dengan ‘Wahe
Guru’, yang berarti satu Tuhan yang sejati.
Disamping mempercayai ajaran
monotheisme, agama Sikh juga menentang ajaran Avtarvada, yakni konsep titisan
(inkarnasi) Tuhan. Orang-orang Sikh ini meyakini bahwa Tuhan tidak bisa
mengambil wujud berupa manusia. Mereka tidak percaya bahwa Tuhan bisa melakukan
inkarnasi, dan mereka juga melarang pe-nyembahan-penyembahan terhadap
berhala-berhala. Guru Nanak sangat dipengaruhi oleh ajaran Kabir. Tidak
mengherankan, bila Anda membaca ‘Sri Guru Granth Sha-hib’, terdapat beberapa
bab yang mengandung untaian ‘Do has’ dari Sant Kabir. ‘Dukh mein sumren sab
kare, Sukh mein kare na koi. Joi sukh mein sumren kare, to dukh kahe hoi’.
Artinya, setiap orang akan ingat kepada Tuhannya tatkala ia berada dalam
lilitan masalah, tetapi tidak seorangpun yang mengingat-Nya tatkala berada
dalam keadaan senang dan bahagia. Seseorang yang bisa mengingat Tuhan tatkala
berada dalam keadaan senang dan bahagia, bagaimana mungkin ia akan terjatuh ke
dalam masalah.
c. Ajaran Kitab Suci Agama
Sikh
Guru kelima, guru Arjan Dev terkenal
karena menyusun Adi Granth, kitab suci agama Sikh. Kitab suci ini kemudian
dideklarasikan menjadi Guru Granth Sahib oleh Guru Gobind Singh. Kitab suci
Guru Granth Sahib ini berisikan ajaran-ajaran suci dalam bentuk asli yang
ditulis oleh para guru sikh sendiri. Di dalam kitab sucinya berisi
ajaran-ajaran agama, syair-syair yang telah dikodifikasikan.
Dan kitab suci agama Sikh adalah Sri
Guru Granth Shahib. Agama Sikh mewajibkan lima hal yang selalu harus ada, yang
dikenal dengan sebutan ‘5K’. [8]
1. Huruf ‘K’yang pertama adalah ‘Kash’
yakni rambut yang tidak boleh dipotong yang ada pada diri sang guru.
2. Huruf ‘K’ yang kedua adalah ‘Kanga’,
yakni sisir yang dipergunakan untuk merapihkan rambut.
3. Huruf ‘K’ yang ketiga adalah
‘Kadha’, yakni gelang besi yang diper-gunakan di tangan atau kaki untuk
memberikan kekuatan dan daya tahan diri.
4. Huruf ‘K’ yang keempat adalah
‘Kripan’, pisau belati yang dipergu-nakan untuk pertahanan diri.
5. Huruf ‘K’ yang kelima adalah ‘Kacha’
yaitu pakaian yang panjang ke bawah hingga ke batas lutut atau sebatas paha
yang dimaksudkan untuk kelincahan gerak.
Penampakkan dengan ‘5K’ ini menjadi
cara atau ciri untuk mengenali orang-orang Sikh.
J. Ajaran Agama Sikh Semasa Nanak
Selama sikhisme dianggap sebagai suatu
ajaran agama yang masih dipersoalkan, karya cunningham menjadi penting sekali,
terutama pada tema yang ia ajukan. Didalamnya ditemukan keterangan kebenaran
bahwa pendiri sikh, nanak (1469-1939), sekalipun dilahirkan sebagai seorang
Hindu, ia menolak paham kesebaragaman tuhan (multiplicity of god) dan ia
mengajarakan paham yang hampir mirip dengan ajaran Islam, keesaan dari sesuatu
yang tertinggi, tak dapat dibatasi atau dita’rifkan, kecuali tuhan berada
dimana-mana dan mahatahu. Sekalipun dirinya seorang bedi 9 yang mengetahui
weda) dari kasta khsatria, nanak menolak sistem kasta. Hindu sebagaimana halnya
muslim yang menekankan persaudaraan umat manusia.
Sejak itu nanak, menurut janam sakhis
(sejarah hidup), menanamkan misalnya yang dimulai dengan pernyataan bahwa tiada
hindu dan tiada islam dan tiada melakukan ziarah ketempat-tempat suci Hindu dan
tiada pula Islam dan tiada melakukan ziarah ketempat-tempat mekkah dan madinah,
cunningham menyimpulkan bahwa Nanak bermaksud membangun sebuah jembatan antara
Hindu dan Islam. Dia dipengaruhi oleh kesamaan sentimen antara komposisi syekh
farid al-din dari pattan, kabir benares, dengan hymne (nyanyian pujian) guru
nanak.
Dia tidak mengemukakan konsiderasi yang
adekuat dengan kenyataan bahwa banyak ajaran nanak, yang meliputi monoteisme,
penolakan terhadap pemujaan berhala dan penghapusan kasta, berasal dari
ajaran-ajaran suci hindu vaishnavite yang dikenal sebagai bhakta. Cunningham
memberikan contoh beberapa penulis yang sering mengutip dait bait dibawah ini
untuk mengonfirmasikan pesan bahwa nanak sebagai pembangun jembatan yang besar.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1.
El Marzdedeq, Parasit Aqidah, 2008, PT Sygma
Examedia Arkanleema, Bandung. 72-73.
2.
Shalaby ,Prof. Dr. Ahmad, Perbandingan Agama:
Agama-Agama Besar Di India, 2001, PT. Bumi Aksara, Jakarta
3.
Souyb, Joesoef, Agama-Agama Besar Di
Dunia,1996, Al Husna, Jakarta, 129-130.
4.
Arteya,
Prof., Thaqafatul Hind Wa Hayatuhar-Ruhiyah Wal Akhlaqiyah Wal
Ijtima’iyah.
5.
Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Penerbit Diponegoro, cet II.
6.
Mathar, Mochammad Qasim, Sejarah, Teologi, dan etika agama-agama, Penerbit
Dian Interfidei, Cet I November 2003.
7.
Gazali, Adeng Muhtar, Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka Setia, Cet I
2000.
[1]El Marzdedeq, Parasit Aqidah, 2008, PT
Sygma Examedia Arkanleema, Bandung. 72
[2]Shalaby ,Prof. Dr. Ahmad, Perbandingan
Agama: Agama-Agama Besar Di India, 2001, PT. Bumi Aksara, Jakarta hal. 159
[3]Arteya,
Prof., Thaqafatul Hind Wa Hayatuhar-Ruhiyah Wal Akhlaqiyah Wal Ijtima’iyah.
Hal. 56
[4]Ebit. Hal. 61
[5]Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Penerbit Diponegoro, cet II hal.
166
[6]Mathar, Mochammad Qasim, Sejarah, Teologi, dan etika agama-agama,
Penerbit Dian Interfidei, Cet I November 2003. Hal 143
[7]Gazali, Adeng Muhtar, Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka Setia,
Cet I 2000.hal. 185
[8]Mathar, Mochammad Qasim, Sejarah, Teologi, dan etika agama-agama,
Penerbit Dian Interfidei, Cet I November 2003. 199