Kamis, 25 April 2013

Jainisme dan Sikhisme


BAB I
PENDAHULUAN
Dengan banyaknya agama yang muncul di muka Bumi ini, maka setiap agama ada sekelompok umat yang menyakini dan menerimanya. berbagai buku telah dikarang dan diterbitkan untuk menjelaskan berbagai agama. Dalam sejarah agama Hindu Brahma, sejak zaman purba telah banyak muncul orang-orang yang membawa aliran perubahan. Mereka mengemukakan perubahan sebagai tantangan terhadap ajaran Hindu Brahma. Perubahan itu ada yang bertalian dengan ketuhanan, berkenaan dengan cara mencapai akhirat( nirwana) atau disebut pula dengan moksa. Tantangan yang paling sengit ditujukan terhadap sistem kemasyarakatannya. Sebagaimana diketahui, agama hindu brahma menganut sistem kasta, dimana sebagaian manusia dipandang sangat mulia (brahma, ksatria, dan waisya), sedangkan sebagian lagi dipandang sangat hina (sudra, paria, harijan).

Dari gerakan itu, muncul agama Budha yang dibawa oleh Sidharta Gautama, agama Jaina yang dibawa oleh verdamana yang terkenal dengan sebutan mahawira, yang hampir sezaman dengan Budha Gautama. Keduanya membawa ajaran yang hampir bersamaan berupa revolusi terhadap agama brahma dan keduanya pun sama-sama anak raja.

Budha dan Jaina tidak setuju kepada paham brahma yang mengakui banyak tuhan serta menyembah kepada berhala (walaupun penganut Budha masa kini menyembah patung), tidak setuju kepada pembelaan derajat manusia yang membagi manusia kepada berbagai kasta. Syarat utama untuk mencapai nirwana atau moksa ialah agar setiap orang harus menjadikan dirinya sebagai manusia yang baik, berpikiran baik, berbuat baik, berkeinginan baik, berbuat baik dengan menekan nafsu, menjauhkan semua perbuatan yang tidak baik. Untuk mencapai nirwana, tidak mesti harus terlahir dari kasta brahmana, tapi siapapun dapat mencapainya asal ia berlaku sebagaimana yang telah disebutkan tadi.



BAB II
PEMBAHASAN
A.                JAINISME
a.      Sejarah Dan Perkembangan Agama Jain

Menurut agama Jain, kepercayaan agama jainisme bersifat abadi. Untuk menjelaskan pendapat tersebut, Jainisme membandingkan dengan konsepsi waktu. Waktu, menurut agama tersebut, tidak ada batasnya. Waktu diukur berdasarkan lingkaran evolusi dan lingkaran kemusnahan. Lingkaran-lingkaran ini mereka sebut dengan utasarpani dan avasarpani. Setiap lingkaran dibagi menjadi enam zaman. Pada tahap keempat dari lingkaran waktu yang kedau terdapat duapuluh empat ­Tirtangkara, atau jiwa sempurna, yang semuanya diduga telah mencapai kelepasan total dari semua kungkungan dan belenggu jiwa. Keduapuluh empat Tirtangkara itu pula yang dipercaya telah menyebarkan agama Jain ke dunia. Secara berurutan dapat kami sebutkan, diantaranya adalah (1): Rshba atau Vrshaba, sapi jantan, emas; (2) Ajita, gajah, emas; (3) Sambhava, kuda, emas; (4) Abhinandana, kera, emas; (5) Sumati, burung, banagau, emas; (6) padmaprabha, bunga teratai, merah; (7) Suparsva, berupa swastika, emas; (8) Chandravhaba, bulan, putih; (9) Suvihdi, atau Puspadata, iakan lumba-lumba, putih; (10) Sitala, berupa sripasta, emas; (11) Sreyamsa, atau Sreyan, badak, emas; (12) Vasupujya, kerbau, merah; (13) Vimala, babi, emas; (14) Ananta atau Anatajid, burung lang, emas; (15) Dharma, halilintar, emas; (16) Shanti, kijang, emas; (17) Kunthu, kambing, emas; (18) Ara, berupa Nandyvarta, emas; (19) Malli, kendi, biru; (20) Suvrata, atau Munisuvrata, kura-kura, itam; (21) Nami, keratai biru, emas; (22) Nemi atau  Aristanemi, kulit kerang-kerangan, hitam (23) Parsva, ular, biru; (24) Vardhamana, harimau, emas. Dari semua Tirthankara tersebut adalah golongan kesatria. Malli adalah seorang perempuan; dan ini bisa diterima oleh sekte Svetambara. Namun sekte Digambara menolaknya, karena sekte ini berpendapat bahwa kaum wanita tidak akan dapat mencapai pencerahan atau kelepasan.[1]

b.         Ajaran Pokok Agama Jain

Ajaran agama jaina ini adalah menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan sebagainya. Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau penyebar keyakinan.

Agama Jaina tidak mempercayai tentang tuhan, dikarenakan agama jaina ini sendiri adalah suatu gerakan yang menentang agama hindu. Mahavira menegaskan bahwa didalam alam ini tidak ada ruh mahabesar dan ruh agung. Disinilah agama jaina ini dinamakan agama ilhad( tidak mempercayai adanya tuhan). Agama jaina mempercayai bahwa setiap yang wujud, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan batu-batuan adalah tersusun dari badan dan ruh. Setiap ruh itu kekal dan bersendiri mengalami hokum pengembalian kembali.

Karena agama jaina tidak mempunyai tuhan maka, setelah mahavira meninggal dunia pada tahun 527 SM, maka para pengikut agama jaina mulai kehilangan arah. Sempat pada awal-awalnya mereka kembali kepada tuhan-tuhan orang hindu, namun karena seiring dengan berjalannya waktu mereka menetapkan mahaviralah tuhan mereka bahkan patungnya mereka sembah.

Didalam perkembangannya, jainisme pecah menjadi dua sekte:
1.      swetambara atau (yang berpakaian putih) pendeta tertinggi harus mengenakan jubah putih
2.      dirgambara atau (yang berpakaian langit). lebih keras dan sangat fanatik, Aturan agar berpakaian putih atau telanjang bulat hanya berlaku bagi pendeta tertinggi dan bukan untuk orang kebanyakan; tidak juga bagi pendeta yang rendah. mereka harus mempertahankan hidup pertapa yang sempurna, tidur hanya tiga jam sehari, makan dari meminta-minta, susah waktunya untuk belajar dan mengajar, dari wanita tidak dapat mencapai pembebasan[2]


c.          Kitab Suci

Sumber-sumber suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira. Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para murid-muridnya, orang-orang arif, pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu dikarenakan takut ajaran-ajaran ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka mereka memelihara tradisi tersebut dan menuliskannya.
Para penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini adalah bahasa Ardhamajdi atau prakit. Namun bahasa tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta[3].

Sedangkan kitab siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah himpunan yang terdiri dari pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas telah lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah anggas seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan pendirian diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte swetambara mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama jaina hanya 33 anggas saja. [4]

d.      Aliran Dalam Agama Jainisme
1.      Digambara
Digambara (berpakaian-langit)                 
mengabaikan semua pakaian, aliran ini adalah sekte awal dari kaum jain, sedangkan Sekte Shvetambara (berpakaian putih) memperbolehkan mengenakan pakaian putih yaitu kolompok yang menolah doktrin dari sekte digambara dan membuat golongan tersendiri.
2.      Sthanakavasi kemudian muncul sebagai kelompok reformasi yang menentang penyembahan berhala di dalam Jainisme. Setiap kelompok aliran tersebut memiliki kitab-kitab suci kanonikal yang berbeda. Nama umum untuk kumpulan kitab-suci Jainisme adalah Agama (aturan/ajaran/perintah). Jumlah buku-buku itu bervariasi dari 33 sampai 84 buku tergantung kepada masing-masing sekte.[5]


B.     SIKHISME
a.      Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Agama Sikh

Agama Sikh merupakan agama Non-Semit, Non-Vedic. Agama Sikh meru-pakan agama terbesar ke-6 di dunia. Ada yang mengatakan agama Sikh sebagai ca-bang dari Agama Hindu. Didirikan oleh Guru Nanak pada akhir abad 15 M. Berasal dari daerah antara Pakistan dan Barat Daya India yaitu Punjab. Punjab berarti tanah dari 5 sungai. Guru Nanak lahir sebagai Ksatriya (Kasta Ksatria) dalam keluarga Hindu tetapi sangat dipengaruhi oleh Islam dan Muslim.[6] 

Agama Sikh bermula di Sultanpur, berhampiran Amritsar di wilayah Punjab, India. Pengasas agama ini ialah Guru Nanak (1469-1539), Agama Sikh percaya kepada adanya satu Tuhan dan dipanggil waheguru. Selepas beliau meninggal dunia, penggantinya juga diberi pangkat guru. Sebanyak sepuluh guru telah mengambil alih tempat beliau dan secara perlahan-lahan. Rangkaian ini berakhir pada tahun 1708 selepas kematian Gobind Singh yang tidak meninggalkan pengganti manusia tetapi meninggalkan satu himpunan skrip suci yang dipanggil Adi Granth. Skrip ini kemudian diberi nama Guru Granth Sahib. Gobind Singh juga telah menumbuhkan sebuah persatuan "Persaudaraan Khalsa Sikh" dan memulakan pemakaian seragam untuk lelaki Sikh yang taat kepada agamanya yang diberi gelaran "Lima K".Sikhisme adalah sebuah agama monoteistik yang diasaskan mengikut ajaran Guru Nanak dan sembilan orang guru lain di Punjab, India pada abad ke-15. Agama Sikhisme adalah agama keenam terbesar di dunia, dengan lebih daripada 23 juta penganut.[7]

b.      Konsep Ketuhanan Dalam Agama Sikh

Agama Sikh termasuk ke dalam kelompok agama non-Semitik, Arya, dan non-Vedic. Meskipun hanya sedikit pengikutnya dibandingkan dengan agama-agama besar lainnya, agama Sikh menjadi bagian atau cabang dari agama Hindu. Agama Sikh didirikan oleh Guru Nanak Shahib pada akhir abad kelima belas. Aga-ma Sikh berasal dari wilayah Pakistan dan India Barat Laut, tepatnya dari wilayah Punjab, yang dikenal sebagai daerah dengan lima sungai. Agama Sikh yang didirkan oleh Guru Nanak Shahib ini juga dikenal dengan sebutan ‘agama dengan sepuluh guru’. Guru yang pertama yang mendirikan agama Sikh ini adalah Guru Nanak Sha-hib dan guru yang terakhir atau yang kesepuluh adalah Guru Govinda Shahib. Guru Nanak Shahib berasal dari keluarga kasta Satria namun beliau banyak terpengaruh oleh pergaulan dengan orang-orang Muslim. Kata ‘Sikh’ diambil dari kata ‘Sisya’ yang berarti ‘murid’ atau ‘pengikut’. 

Berkaitan dengan konsep ketuhanan, definisi terbaik yang dapat diberikan oleh orang-orang Sikh adalah konsep ‘Mul Mantra’. Konsep ini menjadi landasan fundamental agama Sikh yang termuat di dalam bagian permulaan kitab suci agama Sikh yaitu Sri Guru Granth Shahib. Dalam kitab Sri Guru Granth Shahib volume 1, pasal 1 ayat 1 disebutkan istilah ‘Japoji Mul Mantra’. Ayat tersebut berbunyi “Hanya ada Allah Tuhan Yang Esa”. Tuhan itu disebut Dadru, ‘Sang Pencipta’, atau ‘Dia yang terbebas dari rasa takut dan rasa kebencian’, ‘Dia Yang Kekal’, ‘Dia yang tidak dilahirkan’. Agama Sikh ini secara tegas menyatakan diri sebagai agama mo-notheisme. Dan Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak tampak wujudnya itu disebut ‘Ek Omkara’, sedangkan Tuhan yang tampak wujudnya disebut ‘Omkara’. 

Guru Granth Shahib memberikan nama-nama yang beragam kepada bentuk penampakan Tuhan ini (Omkara), atau yang disebut dengan ‘Kartar’ (Sang Pencipta), ‘Akal’ (Yang Abadi), ‘Satyanama’ (Yang Maha Suci), ‘Shahib’ (Tuhan), ‘Parvadigar’ (Sang Pemelihara), ‘Rahim’ (Sang Pengasih), ‘Karim’ (Yang Mulia). Tuhan juga mempunyai gelar lain yang disebut dengan ‘Wahe Guru’, yang berarti satu Tuhan yang sejati.

Disamping mempercayai ajaran monotheisme, agama Sikh juga menentang ajaran Avtarvada, yakni konsep titisan (inkarnasi) Tuhan. Orang-orang Sikh ini meyakini bahwa Tuhan tidak bisa mengambil wujud berupa manusia. Mereka tidak percaya bahwa Tuhan bisa melakukan inkarnasi, dan mereka juga melarang pe-nyembahan-penyembahan terhadap berhala-berhala. Guru Nanak sangat dipengaruhi oleh ajaran Kabir. Tidak mengherankan, bila Anda membaca ‘Sri Guru Granth Sha-hib’, terdapat beberapa bab yang mengandung untaian ‘Do has’ dari Sant Kabir. ‘Dukh mein sumren sab kare, Sukh mein kare na koi. Joi sukh mein sumren kare, to dukh kahe hoi’. Artinya, setiap orang akan ingat kepada Tuhannya tatkala ia berada dalam lilitan masalah, tetapi tidak seorangpun yang mengingat-Nya tatkala berada dalam keadaan senang dan bahagia. Seseorang yang bisa mengingat Tuhan tatkala berada dalam keadaan senang dan bahagia, bagaimana mungkin ia akan terjatuh ke dalam masalah.


c.       Ajaran Kitab Suci Agama Sikh

Guru kelima, guru Arjan Dev terkenal karena menyusun Adi Granth, kitab suci agama Sikh. Kitab suci ini kemudian dideklarasikan menjadi Guru Granth Sahib oleh Guru Gobind Singh. Kitab suci Guru Granth Sahib ini berisikan ajaran-ajaran suci dalam bentuk asli yang ditulis oleh para guru sikh sendiri. Di dalam kitab sucinya berisi ajaran-ajaran agama, syair-syair yang telah dikodifikasikan.
Dan kitab suci agama Sikh adalah Sri Guru Granth Shahib. Agama Sikh mewajibkan lima hal yang selalu harus ada, yang dikenal dengan sebutan ‘5K’. [8]
1. Huruf ‘K’yang pertama adalah ‘Kash’ yakni rambut yang tidak boleh dipotong yang ada pada diri sang guru. 
2. Huruf ‘K’ yang kedua adalah ‘Kanga’, yakni sisir yang dipergunakan untuk merapihkan rambut. 
3. Huruf ‘K’ yang ketiga adalah ‘Kadha’, yakni gelang besi yang diper-gunakan di tangan atau kaki untuk memberikan kekuatan dan daya tahan diri. 
4. Huruf ‘K’ yang keempat adalah ‘Kripan’, pisau belati yang dipergu-nakan untuk pertahanan diri. 
5. Huruf ‘K’ yang kelima adalah ‘Kacha’ yaitu pakaian yang panjang ke bawah hingga ke batas lutut atau sebatas paha yang dimaksudkan untuk kelincahan gerak. 
Penampakkan dengan ‘5K’ ini menjadi cara atau ciri untuk mengenali orang-orang Sikh. 

J. Ajaran Agama Sikh Semasa Nanak

Selama sikhisme dianggap sebagai suatu ajaran agama yang masih dipersoalkan, karya cunningham menjadi penting sekali, terutama pada tema yang ia ajukan. Didalamnya ditemukan keterangan kebenaran bahwa pendiri sikh, nanak (1469-1939), sekalipun dilahirkan sebagai seorang Hindu, ia menolak paham kesebaragaman tuhan (multiplicity of god) dan ia mengajarakan paham yang hampir mirip dengan ajaran Islam, keesaan dari sesuatu yang tertinggi, tak dapat dibatasi atau dita’rifkan, kecuali tuhan berada dimana-mana dan mahatahu. Sekalipun dirinya seorang bedi 9 yang mengetahui weda) dari kasta khsatria, nanak menolak sistem kasta. Hindu sebagaimana halnya muslim yang menekankan persaudaraan umat manusia. 

Sejak itu nanak, menurut janam sakhis (sejarah hidup), menanamkan misalnya yang dimulai dengan pernyataan bahwa tiada hindu dan tiada islam dan tiada melakukan ziarah ketempat-tempat suci Hindu dan tiada pula Islam dan tiada melakukan ziarah ketempat-tempat mekkah dan madinah, cunningham menyimpulkan bahwa Nanak bermaksud membangun sebuah jembatan antara Hindu dan Islam. Dia dipengaruhi oleh kesamaan sentimen antara komposisi syekh farid al-din dari pattan, kabir benares, dengan hymne (nyanyian pujian) guru nanak. 

Dia tidak mengemukakan konsiderasi yang adekuat dengan kenyataan bahwa banyak ajaran nanak, yang meliputi monoteisme, penolakan terhadap pemujaan berhala dan penghapusan kasta, berasal dari ajaran-ajaran suci hindu vaishnavite yang dikenal sebagai bhakta. Cunningham memberikan contoh beberapa penulis yang sering mengutip dait bait dibawah ini untuk mengonfirmasikan pesan bahwa nanak sebagai pembangun jembatan yang besar.



BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

1.      El Marzdedeq, Parasit Aqidah, 2008, PT Sygma Examedia Arkanleema, Bandung. 72-73.
2.      Shalaby ,Prof. Dr. Ahmad, Perbandingan Agama: Agama-Agama Besar Di India, 2001, PT. Bumi Aksara, Jakarta
3.      Souyb, Joesoef, Agama-Agama Besar Di Dunia,1996, Al Husna, Jakarta, 129-130.
4.      Arteya, Prof., Thaqafatul Hind Wa Hayatuhar-Ruhiyah Wal Akhlaqiyah Wal     Ijtima’iyah.
5.      Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Penerbit Diponegoro, cet II.
6.      Mathar, Mochammad Qasim, Sejarah, Teologi, dan etika agama-agama, Penerbit Dian Interfidei, Cet I November 2003.
7.      Gazali, Adeng Muhtar, Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka Setia, Cet I 2000.




[1]El Marzdedeq, Parasit Aqidah, 2008, PT Sygma Examedia Arkanleema, Bandung. 72
[2]Shalaby ,Prof. Dr. Ahmad, Perbandingan Agama: Agama-Agama Besar Di India, 2001, PT. Bumi Aksara, Jakarta hal. 159
[3]Arteya, Prof., Thaqafatul Hind Wa Hayatuhar-Ruhiyah Wal Akhlaqiyah Wal Ijtima’iyah. Hal. 56
[4]Ebit. Hal. 61
[5]Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Penerbit Diponegoro, cet II hal. 166
[6]Mathar, Mochammad Qasim, Sejarah, Teologi, dan etika agama-agama, Penerbit Dian Interfidei, Cet I November 2003. Hal 143
[7]Gazali, Adeng Muhtar, Ilmu Perbandingan Agama, CV Pustaka Setia, Cet I 2000.hal. 185
[8]Mathar, Mochammad Qasim, Sejarah, Teologi, dan etika agama-agama, Penerbit Dian Interfidei, Cet I November 2003. 199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar