Kamis, 25 April 2013

Agama Jainisme


PENDAHULUAN

            Agama Jain, atau Jainisme, adalah sebuah agama monastic kuno dari India. Sebagaimana halnya agama Budha, agama ini menolak otoritas agama Weda, sehingga dipandag dipandang sebagai pecahan atau bidat dari paham Bramanisme. Menurut Harun Hadiwijono, agama Jain muncul pada zaman Wiracarita, yaitu masa akhir zaman Brahmana, ketika timbul perdebatan sengit antara aliran yang berpaham teistis dengan aliran non-teistis. Menurut John A. Hutcison, munculnya agama ini, juga agama buddhisme, terjadi pada abad heresies (zaman pilihan) yang timbul karena dua alas an: pertama, wkatu itu orang tidak mengakui adanya otoritas agama Weda; dan kedua, orang pada waktu itu menolak batu ujian ortodoksi Hindu, yaitu apa yang disebut juga dengan kasta. Disamping penolakan mereka terhadap sahnya kitab suci Weda,  Mereka juga menolak adanya kuil-kuil untuk memuja para dewa, upacara keagamaan dan otoritas para pendeta. Oleh karena itu agama ini dapat digolongkan sebagai heterodoks.
            Sebutan “Jain” menurut Sri Krisna Saksena, berasal dari kata “Jina” (Sans.), yang berarti pemenang atau yang mengalahkan. Artinya, berhasil mengalahkan atau mengatasi secara tuntas kungkungan atau belenggu penyakit dan penderitaan dalam kehidupa nyata ini. Orang semacam ini boleh disebut sebaai Jain, atau pemenang.
            Bagi Jainisme, kehidupan di dunia ini diabadikan atau dibuat kekal oleh peralihan jiwa yang secara esensial telah menyebabkan keburukan dan penderitaan. Oleh karena itu, tujuan hidup sebenarnya adalah untuk mengakhiri siklus kehidupan atau rangkaian kelahiran kembali itu, yang baru bisa tercapai apabila manusia berhasil memiliki pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar ini isinya adalah hal-hal yang mengandung kelepasan.
            Arah ajaran agama Jain, kalau dilihat dari asal kata “Jina” dan juga dari uraian di atas, jelas menuju pencapaian kelepasan. Arah semacam ini memang dapat dimaklumi, karena peta semua agama yang berasal dari India senantiasa diwarnai dan bermuara pada tujuan pencapaian kelepasan itu. Kelepasan inilah yang senantiasa dicari dan diusahakan rumusannya. Namun usaha merumuskan apa yang dimaksud kelepasan tersebut ternyata tidak semudah dan segamblang apa yang diharapkan, melainkan justru mnimbulkan kesulitan dan keruwetan. Seperti yang disebutkan oleh Honig, bahwa ketika orang akan berusaha memahami agama-agaam dari India, dia akan menemukan keruwetan-keruwetan seruwet keadaan geografi semenanjung India. Tanpa kecuali, bisa dibilang agama Jain ini sama ruwetnya dengan ajaran Hinduisme yang lain.
            Seperti telah disebutkan, tujuan tertingi ajaran-ajaran agama Jain pada hakekatnya adalah untuk mencapai kesempurnaan absolute dari kehakikian manusia, yakni pembebasan diri dari segala macam penderitaan dan kungkungan atau belenggu. Oleh karena itu, untuk mencapai kesempurnaan tersebut, agama Jain mendorong semua pengikutnya untuk hidup dengan penuh kesederhanaan, yang diwujudkan dalam bentuk praktek-praktek aksetik atau pertapaan. Hidup semacam ini merupakan usaha untuk mencapai kehidupan yang abadi.


A.                SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA JAIN

Menurut agama Jain, kepercayaan agama jainisme bersifat abadi. Untuk menjelaskan pendapat tersebut, Jainisme membandingkan dengan konsepsi waktu. Waktuy, menurut agama tersebut, tidak ada batasnya. Waktu diukur berdasarkan lingkaran evolusi dan lingkaran kemusnahan. Lingkaran-lingkaran ini mereka sebut dengan utasarpani dan avasarpani. Setiap lingkaran dibagi menjadi enam zaman. Pada tahap keempat dari lingkaran waktu yang kedau terdapat duapuluh empat ­Tirtangkara, atau jiwa sempurna, yang semuanya diduga telah mencapai kelepasan total dari semua kungkungan dan belenggu jiwa. Keduapuluh empat Tirtangkara itu pula yang dipercaya telah menyebarkan agama Jain ke dunia. Secara berurutan dapat kami sebutkan, diantaranya adalah (1): Rshba atau Vrshaba, sapi jantan, emas; (2) Ajita, gajah, emas; (3) Sambhava, kuda, emas; (4) Abhinandana, kera, emas; (5) Sumati, burung, banagau, emas; (6) padmaprabha, bunga teratai, merah; (7) Suparsva, berupa swastika, emas; (8) Chandravhaba, bulan, putih; (9) Suvihdi, atau Puspadata, iakan lumba-lumba, putih; (10) Sitala, berupa sripasta, emas; (11) Sreyamsa, atau Sreyan, badak, emas; (12) Vasupujya, kerbau, merah; (13) Vimala, babi, emas; (14) Ananta atau Anatajid, burung lang, emas; (15) Dharma, halilintar, emas; (16) Shanti, kijang, emas; (17) Kunthu, kambing, emas; (18) Ara, berupa Nandyvarta, emas; (19) Malli, kendi, biru; (20) Suvrata, atau Munisuvrata, kura-kura, itam; (21) Nami, keratai biru, emas; (22) Nemi atau  Aristanemi, kulit kerang-kerangan, hitam (23) Parsva, ular, biru; (24) Vardhamana, harimau, emas. Dari semua Tirthankara  tersebut adalah golongan kesatria. Malli adalah seorang perempuan; dan ini bisa diterima oleh sekte Svetambara. Namun sekte Digambara menolaknya, karena sekte ini berpendapat bahwa kaum wanita tidak akan dapat mencapai pencerahan atau kelepasan.
Dari urutan tersebut diatas, Rsbha dalah Tirthankara yang pertama. Rsbha inilah yang dikatan sebagai pendiri yang sebenarnya dari Jain ini. Namanya dapat ditemukan dalam kitab Weda dan Purana, namun hanya sedikit saja nama Rashba disinggung didalamnya, berbeda dengan Tirthankara yang terakhir, yaitu Vardharama, yang namanya cukup banyak disinggung, dan dia juga hidup sezaman dengan Buddha.

Jainisme mulai diakui keberadaannya di Magadha, India Utara, sekitar abad ke-6 dan ke-5 SM. pada waktu itu Vardhamana Mahavira mulai menyebarkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, Mahavira ini dianggap sebagai “nabi” Jainisme, bukan sebagai penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan, bahwa Mahavira bukan yang paling dulu menyebarkan ajaran-ajaran Jainisme tersebut. Diakui juga bahwa diantara sekian banyak Tirthankara, Mahavira adalah yanag paling terakhir turun kedunia ini. Pendahulunya, yaitu Parsvanatha, meninggal dunia pada 776 S.M, dan Nemitatha, yang diduga mendahului Parsvanatha, meninggal dunia kira-kira 5.000 tahun sebelumnya.
Mahavira adalah sebutan bagi jaina ke 24 atau Tirthankkara ke 24, namun nama aslinya adalah vardhamata, yang artinya berlebih-lebihan. Ia memperoleh nama tersebut dikarenakan ia lahir dikalanngan kaum ksatria dan saat ia dalam kandungan ibunya, kehidupan keluarganya penuh dengan kebaikan dan kemewahan. Sedangkan Sebutan mahavira sendiri sebenarnya sang pahlawan besar atau perwira perkasa. Hal ini dikarenakan mahavira adalah jaina teragung, yang memiliki banyak pengikut.
Mahavira dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang besar, yang penuh kemewahan dan kesenangan. Dari masa ke masa keluarganya selalu menyambut kedatangan rombongan ahli agama dan ahli ibadah, karena rombongan ini mendapati rumah amir ini, mereka menumpang dengan baik dan disambut dengan tangan terbuka. Dan sejak kecil mahavira gemar mengikuti majelis mereka dan senang mendengar kata-kata hikmah serta ajaran-ajaran mereka, sehingga ajaran falsafah yang mereka ajarkan juga mempengaruhi diri mahavira. Karena rasa ketertarikannya itu maka ia mulai mendalami tentang ketuhanan dan kehidupan zuhud serta persemedian. Namun karena kedudukan keluarganya yang sangat penting dalam pemerintahan maka keluarganya tidak terlalu mendukungnya untuk melakukan ajaran agama semakin dalam lagi.
Karena paksaan keluarganya maka mahavira menikahi seorang gadis yang dicalonkan oleh keluarganya yang bernama yasoda dan dikaruniai seorang anak yang bernama anuja. Hal ini sangat menyiksa dirinya karena keinginan utamanya adalah sebenarnya mendalami ketuhanan namun semasa ayahnya masih hidup ia tak berani menunjukannya, demi menyenangkan ayahnya.
Namun tatkala kedua orangtuanya meninggal dunia, maka ia memiliki kesempatan untuk memenuhi hasratnya yang telah lama dipendam, yaitu ingin hidup zuhud dan bertapa. Mahavira meminta saudaranya untuk memegang jabatan yang di tinggalkan ayahnya, serta meminta izin untuk meninggalkan gelar kebangsawanannya demi mendalami agama. Namun saudaranya khawatir orang-orang akan menyangka mahavira melakukan hal itu karena siksaan yang disebabkan oleh keluarganya maka ia meminta mahavira untuk menangguhkan keinginannya tersebut. Namun tatkala tiba saatnya yang telah ditetapkan, diadakanlah suatu pertemuan besar dibawah pohon asoka dengan dihadiri seluruh anggota keluarga dan penduduk negri. Mahavira mengumumkan keinginan mahvira untuk meniggalkan gelar kebangsawanannya, kerajaannya, dan seluruh yang ia miliki, untuk menyediri dalam zuhud dan persemedian. Inilah awal kehidupan rohaninya secara nyata. Dia menanggalkan pakaiannya yang indah, perhiasannya, mencukur rambutnya dan mulai kehidupan baru, umurnya pada waktu itu baru 30 tahun.


B.        AJARAN POKOK AGAMA JAIN

Ajaran agama jaina ini adalah menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan sebagainya. Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau penyebar keyakinan.
Agama Jaina tidak mempercayai tentang tuhan, dikarenakan agama jaina ini sendiri adalah suatu gerakan yang menentang agama hindu. Mahavira menegaskan bahwa didalam alam ini tidak ada ruh mahabesar dan ruh agung. Disinilah agama jaina ini dinamakan agama ilhad( tidak mempercayai adanya tuhan). Agama jaina mempercayai bahwa setiap yang wujud, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan batu-batuan adalah tersusun dari badan dan ruh. Setiap ruh itu kekal dan bersendiri mengalami hokum pengembalian kembali.
Karena agama jaina tidak mempunyai tuhan maka, setelah mahavira meninggal dunia pada tahun 527 SM, maka para pengikut agama jaina mulai kehilangan arah. Sempat pada awal-awalnya mereka kembali kepada tuhan-tuhan orang hindu, namun karena seiring dengan berjalannya waktu mereka menetapkan mahaviralah tuhan mereka bahkan patungnya mereka sembah.
Didalam perkembangannya, jainisme pecah menjadi dua sekte, yaitu swetambara atau (yang berpakaian putih) dan dirgambara atau (yang berpakaian langit). Perbedaannya adalah hanya dalam beberapadetail ajaran dan praktek agama yanga bersifat minoritas. Secara fundamental tidak ada perbedaannya. Pecahnya menjadi dua sekte tersebut tidak berpengaruh kepada jainisme yang esensial. Dirgambara lebih keras dan sangat fanatik, sementara swetambara lebih akomodatif. Aturan agar berpakaian putih atau telanjang bulat hanya berlaku bagi pendeta tertinggi dan bukan untuk orang kebanyakan; tidak juga bagi pendeta yang rendah. Menurut swetambara, pendeta tertinggi harus mengenakan jubah putih, sementara menurut dirganbara, mereka harus tidak mengenakan kain secarikpun. Menurut sekte dirgambara mereka harus mempertahankan hidup pertapa yang sempurna, tidur hanya tiga jam sehari, makan dari meminta-minta, susah waktunya untuk belajar dan mengajar, dari wanita tidak dapat mencapai pembebasan: sementara swetambara menolak pandangan ini. Kehidupan kependetaan dirgambara sangat keras dan ketat didalam hal disiplin. Karenanya pengikutnya sangat kecil jumlahnya.

C.       KITAB SUCI

Sumber-sumber suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira. Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para murid-muridnya, orang-orang arif, pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu dikarenakan takut ajaran-ajaran ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka mereka memelihara tradisi tersebut dan menuliskannya.
Para penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini adalah bahasa Ardhamajdi atau prakit. Namun bahasa tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta.
Sedangkan kitab siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah himpunan yang terdiri dari pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas telah lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah anggas seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan pendirian diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte swetambara mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama jaina hanya 33 anggas saja.

D.       ALIRAN DALAM AGAMA JAINISME

1.      Digambara
Digambara (berpakaian-langit)                 
mengabaikan semua pakaian, aliran ini adalah sekte awal dari kaum jain, sedangkan Sekte Shvetambara (berpakaian putih) memperbolehkan mengenakan pakaian putih yaitu kolompok yang menolah doktrin dari sekte digambara dan membuat golongan tersendiri.
2.      Sthanakavasi kemudian muncul sebagai kelompok reformasi yang menentang penyembahan berhala di dalam Jainisme. Setiap kelompok aliran tersebut memiliki kitab-kitab suci kanonikal yang berbeda. Nama umum untuk kumpulan kitab-suci Jainisme adalah Agama (aturan/ajaran/perintah). Jumlah buku-buku itu bervariasi dari 33 sampai 84 buku tergantung kepada masing-masing sekte.






PENUTUP


KESIMPULAN
Jainisme adalah salah satu ajaran paham jaina di india, yang digolongkan ke dalam nastika (heterodoks) karena tidak mengakui otoritas veda. Tradisi yang dikembangkan adalah heterodoks , atheisme namun spiritual. Pemimpin agama jaina yang paling terkenal adalah mahavira, dia mengajarkan jaina kepada setiap orang dengan cara yang berbeda dengan pendahulunya. Agama jaina sendiri memiliki kitab suci yang bernama siddhata dan agama jaina pada masa-masa terakhir pecah menjadi dua golongan besar dan satu golongan pinggiran, yaitu swetambara, dirgambara dan gerakan reformasi agama jaina.
Seorang Jain adalah pengikut para Jina, atau para penakluk spiritual. Mereka mengikuti ajaran 24 penakluk Jina yang dikenal sebagai Tirthankar (pembangun benteng). Tirthankar ke-24, Sang Mahavira, hidup pada abad ke-6 SM. Seperti agama Hindu dan Buddha seorang Jain tujuannya ialah mencapai moksa. Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama ditemukan di India. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah ke atas.
   Jainis percaya bahwa untuk mencapai pencerahan dan akhirnya pembebasan, seseorang harus mempraktekkan prinsip-prinsip etika berikut (utama sumpah) dalam pemikiran, ucapan dan tindakan. Sejauh mana prinsip-prinsip ini dipraktekkan berbeda untuk kepala keluarga dan biarawan.


DAFTAR PUSTAKA
El Marzdedeq, Parasit Aqidah, 2008, PT Sygma Examedia Arkanleema, Bandung. 72-73.
Shalaby ,Prof. Dr. Ahmad, Perbandingan Agama: Agama-Agama Besar Di India, 2001, PT. Bumi Aksara, Jakarta
Souyb, Joesoef, Agama-Agama Besar Di Dunia,1996, Al Husna, Jakarta, 129-130.
Arteya, Prof., Thaqafatul Hind Wa Hayatuhar-Ruhiyah Wal Akhlaqiyah Wal     Ijtima’iyah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar