PENDAHULUAN
Agama Jain, atau
Jainisme, adalah sebuah agama monastic kuno dari India. Sebagaimana halnya
agama Budha, agama ini menolak otoritas agama Weda, sehingga dipandag dipandang
sebagai pecahan atau bidat dari paham Bramanisme. Menurut Harun Hadiwijono,
agama Jain muncul pada zaman Wiracarita, yaitu masa akhir zaman
Brahmana, ketika timbul perdebatan sengit antara aliran yang berpaham teistis
dengan aliran non-teistis. Menurut John A. Hutcison, munculnya agama ini, juga
agama buddhisme, terjadi pada abad heresies (zaman pilihan) yang timbul
karena dua alas an: pertama, wkatu itu orang tidak mengakui adanya otoritas
agama Weda; dan kedua, orang pada waktu itu menolak batu ujian ortodoksi Hindu,
yaitu apa yang disebut juga dengan kasta. Disamping penolakan mereka terhadap
sahnya kitab suci Weda, Mereka juga
menolak adanya kuil-kuil untuk memuja para dewa, upacara keagamaan dan otoritas
para pendeta. Oleh karena itu agama ini dapat digolongkan sebagai heterodoks.
Sebutan “Jain” menurut Sri Krisna
Saksena, berasal dari kata “Jina” (Sans.), yang berarti pemenang atau yang
mengalahkan. Artinya, berhasil mengalahkan atau mengatasi secara tuntas
kungkungan atau belenggu penyakit dan penderitaan dalam kehidupa nyata ini.
Orang semacam ini boleh disebut sebaai Jain, atau pemenang.
Bagi Jainisme, kehidupan di dunia
ini diabadikan atau dibuat kekal oleh peralihan jiwa yang secara esensial telah
menyebabkan keburukan dan penderitaan. Oleh karena itu, tujuan hidup sebenarnya
adalah untuk mengakhiri siklus kehidupan atau rangkaian kelahiran kembali itu,
yang baru bisa tercapai apabila manusia berhasil memiliki pengetahuan yang
benar. Pengetahuan yang benar ini isinya adalah hal-hal yang mengandung
kelepasan.
Arah ajaran agama Jain, kalau
dilihat dari asal kata “Jina” dan juga dari uraian di atas, jelas menuju
pencapaian kelepasan. Arah semacam ini memang dapat dimaklumi, karena peta
semua agama yang berasal dari India senantiasa diwarnai dan bermuara pada
tujuan pencapaian kelepasan itu. Kelepasan inilah yang senantiasa dicari dan
diusahakan rumusannya. Namun usaha merumuskan apa yang dimaksud kelepasan
tersebut ternyata tidak semudah dan segamblang apa yang diharapkan, melainkan
justru mnimbulkan kesulitan dan keruwetan. Seperti yang disebutkan oleh Honig,
bahwa ketika orang akan berusaha memahami agama-agaam dari India, dia akan
menemukan keruwetan-keruwetan seruwet keadaan geografi semenanjung India. Tanpa
kecuali, bisa dibilang agama Jain ini sama ruwetnya dengan ajaran Hinduisme
yang lain.
Seperti telah disebutkan, tujuan
tertingi ajaran-ajaran agama Jain pada hakekatnya adalah untuk mencapai kesempurnaan
absolute dari kehakikian manusia, yakni pembebasan diri dari segala macam
penderitaan dan kungkungan atau belenggu. Oleh karena itu, untuk mencapai
kesempurnaan tersebut, agama Jain mendorong semua pengikutnya untuk hidup
dengan penuh kesederhanaan, yang diwujudkan dalam bentuk praktek-praktek
aksetik atau pertapaan. Hidup semacam ini merupakan usaha untuk mencapai
kehidupan yang abadi.
A.
SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN AGAMA JAIN
Menurut
agama Jain, kepercayaan agama jainisme bersifat abadi. Untuk menjelaskan
pendapat tersebut, Jainisme membandingkan dengan konsepsi waktu. Waktuy,
menurut agama tersebut, tidak ada batasnya. Waktu diukur berdasarkan lingkaran
evolusi dan lingkaran kemusnahan. Lingkaran-lingkaran ini mereka sebut dengan utasarpani
dan avasarpani. Setiap lingkaran dibagi menjadi enam zaman. Pada
tahap keempat dari lingkaran waktu yang kedau terdapat duapuluh empat Tirtangkara,
atau jiwa sempurna, yang semuanya diduga telah mencapai kelepasan total
dari semua kungkungan dan belenggu jiwa. Keduapuluh empat Tirtangkara itu pula
yang dipercaya telah menyebarkan agama Jain ke dunia. Secara berurutan dapat
kami sebutkan, diantaranya adalah (1): Rshba atau Vrshaba, sapi
jantan, emas; (2) Ajita, gajah, emas; (3) Sambhava, kuda, emas;
(4) Abhinandana, kera, emas; (5) Sumati, burung, banagau, emas;
(6) padmaprabha, bunga teratai, merah; (7) Suparsva, berupa
swastika, emas; (8) Chandravhaba, bulan, putih; (9) Suvihdi, atau
Puspadata, iakan lumba-lumba, putih; (10) Sitala, berupa sripasta, emas; (11) Sreyamsa, atau Sreyan, badak, emas; (12) Vasupujya, kerbau, merah; (13) Vimala, babi, emas; (14) Ananta atau Anatajid, burung lang, emas; (15) Dharma, halilintar, emas; (16) Shanti, kijang, emas; (17) Kunthu, kambing, emas; (18) Ara, berupa Nandyvarta, emas; (19) Malli, kendi, biru; (20) Suvrata, atau Munisuvrata, kura-kura,
itam; (21) Nami, keratai biru, emas; (22) Nemi atau Aristanemi, kulit kerang-kerangan, hitam (23) Parsva, ular, biru; (24) Vardhamana, harimau, emas. Dari semua Tirthankara
tersebut adalah golongan kesatria. Malli adalah seorang perempuan; dan ini bisa diterima oleh sekte Svetambara. Namun sekte Digambara menolaknya, karena sekte ini berpendapat
bahwa kaum wanita tidak akan dapat mencapai pencerahan atau kelepasan.
Dari urutan tersebut diatas, Rsbha dalah
Tirthankara yang pertama. Rsbha inilah yang dikatan sebagai pendiri yang
sebenarnya dari Jain ini. Namanya dapat ditemukan dalam kitab Weda dan Purana,
namun hanya sedikit saja nama Rashba disinggung didalamnya, berbeda dengan Tirthankara
yang terakhir, yaitu Vardharama, yang namanya cukup banyak disinggung, dan dia
juga hidup sezaman dengan Buddha.
Jainisme mulai diakui keberadaannya di Magadha,
India Utara, sekitar abad ke-6 dan ke-5 SM. pada waktu itu Vardhamana Mahavira mulai
menyebarkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, Mahavira ini dianggap sebagai
“nabi” Jainisme, bukan sebagai penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan,
bahwa Mahavira bukan yang paling dulu menyebarkan ajaran-ajaran Jainisme
tersebut. Diakui juga bahwa diantara sekian banyak Tirthankara, Mahavira adalah
yanag paling terakhir turun kedunia ini. Pendahulunya, yaitu Parsvanatha,
meninggal dunia pada 776 S.M, dan Nemitatha, yang diduga mendahului
Parsvanatha, meninggal dunia kira-kira 5.000 tahun sebelumnya.
Mahavira adalah sebutan bagi jaina
ke 24 atau Tirthankkara ke 24, namun nama aslinya adalah vardhamata, yang
artinya berlebih-lebihan. Ia memperoleh nama tersebut dikarenakan ia lahir
dikalanngan kaum ksatria dan saat ia dalam kandungan ibunya, kehidupan
keluarganya penuh dengan kebaikan dan kemewahan. Sedangkan Sebutan mahavira
sendiri sebenarnya sang pahlawan besar atau perwira perkasa. Hal ini
dikarenakan mahavira adalah jaina teragung, yang memiliki banyak pengikut.
Mahavira dibesarkan ditengah-tengah
keluarga yang besar, yang penuh kemewahan dan kesenangan. Dari masa ke masa
keluarganya selalu menyambut kedatangan rombongan ahli agama dan ahli ibadah,
karena rombongan ini mendapati rumah amir ini, mereka menumpang dengan baik dan
disambut dengan tangan terbuka. Dan sejak kecil mahavira gemar mengikuti
majelis mereka dan senang mendengar kata-kata hikmah serta ajaran-ajaran
mereka, sehingga ajaran falsafah yang mereka ajarkan juga mempengaruhi diri
mahavira. Karena rasa ketertarikannya itu maka ia mulai mendalami tentang
ketuhanan dan kehidupan zuhud serta persemedian. Namun karena kedudukan
keluarganya yang sangat penting dalam pemerintahan maka keluarganya tidak
terlalu mendukungnya untuk melakukan ajaran agama semakin dalam lagi.
Karena paksaan keluarganya maka mahavira menikahi seorang
gadis yang dicalonkan oleh keluarganya yang bernama yasoda dan dikaruniai
seorang anak yang bernama anuja. Hal ini sangat menyiksa dirinya karena
keinginan utamanya adalah sebenarnya mendalami ketuhanan namun semasa ayahnya
masih hidup ia tak berani menunjukannya, demi menyenangkan ayahnya.
Namun tatkala kedua orangtuanya
meninggal dunia, maka ia memiliki kesempatan untuk memenuhi hasratnya yang
telah lama dipendam, yaitu ingin hidup zuhud dan bertapa. Mahavira meminta
saudaranya untuk memegang jabatan yang di tinggalkan ayahnya, serta meminta
izin untuk meninggalkan gelar kebangsawanannya demi mendalami agama. Namun
saudaranya khawatir orang-orang akan menyangka mahavira melakukan hal itu
karena siksaan yang disebabkan oleh keluarganya maka ia meminta mahavira untuk
menangguhkan keinginannya tersebut. Namun tatkala tiba saatnya yang telah
ditetapkan, diadakanlah suatu pertemuan besar dibawah pohon asoka dengan
dihadiri seluruh anggota keluarga dan penduduk negri. Mahavira mengumumkan
keinginan mahvira untuk meniggalkan gelar kebangsawanannya, kerajaannya, dan
seluruh yang ia miliki, untuk menyediri dalam zuhud dan persemedian. Inilah
awal kehidupan rohaninya secara nyata. Dia menanggalkan pakaiannya yang indah,
perhiasannya, mencukur rambutnya dan mulai kehidupan baru, umurnya pada waktu
itu baru 30 tahun.
B.
AJARAN POKOK AGAMA JAIN
Ajaran agama jaina ini adalah
menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep
ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak
mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan sebagainya.
Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman
pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu
generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran
jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau
penyebar keyakinan.
Agama Jaina tidak mempercayai
tentang tuhan, dikarenakan agama jaina ini sendiri adalah suatu gerakan yang
menentang agama hindu. Mahavira menegaskan bahwa didalam alam ini tidak ada ruh
mahabesar dan ruh agung. Disinilah agama jaina ini dinamakan agama ilhad( tidak
mempercayai adanya tuhan). Agama jaina mempercayai bahwa setiap yang wujud,
baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan batu-batuan adalah tersusun dari
badan dan ruh. Setiap ruh itu kekal dan bersendiri mengalami hokum pengembalian
kembali.
Karena agama jaina tidak mempunyai
tuhan maka, setelah mahavira meninggal dunia pada tahun 527 SM, maka para
pengikut agama jaina mulai kehilangan arah. Sempat pada awal-awalnya mereka
kembali kepada tuhan-tuhan orang hindu, namun karena seiring dengan berjalannya
waktu mereka menetapkan mahaviralah tuhan mereka bahkan patungnya mereka
sembah.
Didalam perkembangannya, jainisme
pecah menjadi dua sekte, yaitu swetambara atau (yang berpakaian putih) dan
dirgambara atau (yang berpakaian langit). Perbedaannya adalah hanya dalam
beberapadetail ajaran dan praktek agama yanga bersifat minoritas. Secara
fundamental tidak ada perbedaannya. Pecahnya menjadi dua sekte tersebut tidak
berpengaruh kepada jainisme yang esensial. Dirgambara lebih keras dan sangat
fanatik, sementara swetambara lebih akomodatif. Aturan agar berpakaian putih
atau telanjang bulat hanya berlaku bagi pendeta tertinggi dan bukan untuk orang
kebanyakan; tidak juga bagi pendeta yang rendah. Menurut swetambara, pendeta
tertinggi harus mengenakan jubah putih, sementara menurut dirganbara, mereka
harus tidak mengenakan kain secarikpun. Menurut sekte dirgambara mereka harus
mempertahankan hidup pertapa yang sempurna, tidur hanya tiga jam sehari, makan
dari meminta-minta, susah waktunya untuk belajar dan mengajar, dari wanita
tidak dapat mencapai pembebasan: sementara swetambara menolak pandangan ini.
Kehidupan kependetaan dirgambara sangat keras dan ketat didalam hal disiplin.
Karenanya pengikutnya sangat kecil jumlahnya.
C.
KITAB SUCI
Sumber-sumber suci dikalangan para
pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira. Kemudian pidato-pidato
mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para murid-muridnya, orang-orang
arif, pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber kepustakaan suci ini
diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu dikarenakan takut
ajaran-ajaran ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka
mereka memelihara tradisi tersebut dan menuliskannya.
Para penganut jaina mengadakan
pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan naskah-naskah suci untuk
dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini diberi nama siddhanta, yang
menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini
adalah bahasa Ardhamajdi atau prakit. Namun bahasa tersebut hanya
digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk menjaga isinya
kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta.
Sedangkan kitab siddhanta sendiri
terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah himpunan yang terdiri dari
pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas telah lenyap sampai
kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah anggas seluruhnya, yang
merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan pendirian diantara
sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara mengakui ada 80
anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte swetambara mengakui
hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama jaina hanya 33 anggas
saja.
D. ALIRAN DALAM AGAMA JAINISME
1. Digambara
Digambara
(berpakaian-langit)
mengabaikan semua pakaian,
aliran ini adalah sekte awal dari kaum jain, sedangkan
Sekte Shvetambara (berpakaian putih) memperbolehkan mengenakan
pakaian putih yaitu kolompok yang menolah doktrin dari sekte digambara dan
membuat golongan tersendiri.
2. Sthanakavasi kemudian
muncul sebagai kelompok reformasi yang menentang penyembahan berhala di dalam
Jainisme. Setiap kelompok aliran tersebut memiliki kitab-kitab suci kanonikal
yang berbeda. Nama umum untuk kumpulan kitab-suci Jainisme
adalah Agama (aturan/ajaran/perintah). Jumlah buku-buku itu
bervariasi dari 33 sampai 84 buku tergantung kepada masing-masing sekte.
PENUTUP
KESIMPULAN
Jainisme adalah salah satu ajaran
paham jaina di india, yang digolongkan ke dalam nastika (heterodoks) karena
tidak mengakui otoritas veda. Tradisi yang dikembangkan adalah heterodoks ,
atheisme namun spiritual. Pemimpin agama jaina yang paling terkenal adalah
mahavira, dia mengajarkan jaina kepada setiap orang dengan cara yang berbeda
dengan pendahulunya. Agama jaina sendiri memiliki kitab suci yang bernama
siddhata dan agama jaina pada masa-masa terakhir pecah menjadi dua golongan
besar dan satu golongan pinggiran, yaitu swetambara, dirgambara dan gerakan
reformasi agama jaina.
Seorang Jain adalah pengikut para Jina, atau para penakluk
spiritual. Mereka mengikuti ajaran 24 penakluk Jina yang dikenal sebagai
Tirthankar (pembangun benteng). Tirthankar ke-24, Sang Mahavira, hidup pada
abad ke-6 SM. Seperti agama Hindu dan Buddha seorang Jain tujuannya ialah
mencapai moksa. Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka
terutama ditemukan di India. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk
golongan menengah ke atas.
Jainis
percaya bahwa untuk mencapai pencerahan dan akhirnya pembebasan, seseorang
harus mempraktekkan prinsip-prinsip etika berikut (utama sumpah) dalam
pemikiran, ucapan dan tindakan. Sejauh mana prinsip-prinsip ini dipraktekkan
berbeda untuk kepala keluarga dan biarawan.
DAFTAR
PUSTAKA
El
Marzdedeq, Parasit Aqidah, 2008, PT Sygma Examedia Arkanleema, Bandung. 72-73.
Shalaby ,Prof. Dr. Ahmad, Perbandingan Agama: Agama-Agama
Besar Di India, 2001, PT. Bumi Aksara, Jakarta
Souyb, Joesoef, Agama-Agama Besar Di Dunia,1996, Al Husna,
Jakarta, 129-130.
Arteya,
Prof., Thaqafatul Hind Wa Hayatuhar-Ruhiyah Wal Akhlaqiyah Wal
Ijtima’iyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar